Pada hari itu, 15 Februari 2017. Saya berharap akan hari-hari yang sederhana seperti biasanya, menghadap monitor komputer sambil berimajinasi memikirkan masa depan yang gaib. Saya terhentak saat ponsel pintar saya berbunyi,  ada nama kontak “Ibuk” dengan jelas tertera sebagai panggilan masuk.

Disuapin budhe
Disuapin Budhe kala itu.

“Adek, tokonya ditutupin dulu semuanya. Wifinya dimatikan saja, budhe meninggal dunia. Naik motornya hati-hati ya!” Bagai tersambar petir di siang bolong saya mendengar kalimat yang diutarakan Ibu.

Saat itu saya bodoh sekali lupa tidak minum air putih sebagai penenang kekagetan saya. Toko lekas saya tutup, wifi saya matikan, dan jemuran baju pun saya masukkan ke dalam rumah. Saat mandi saya masih sangat berharap bahwa saya salah dengar tentang kabar kepergian itu.

Setelah mengunci semua pintu rumah, saya berangkat naik motor tanpa menggunakan helm, iya tanpa helm karena waktu itu tidak ada helm di rumah. Saya berangkat dengan perasaan was-was, sambil memijat kepala saya yang masih tidak mau percaya kalau budhe sudah tiada.

Sesampainya di rumah nenek, saya sudah melihat beberapa orang mengeluarkan kursi dan meja dari ruang tamu. Saat di depan pintu ada orang yang bertanya, “Mas Yoggy tau dari siapa kabarnya?” Saya seperti orang bodoh mencerna pertanyaan tersebut, dan saya masih berharap untuk kesekian kalinya kalau kabar yang diberikan Ibu saya itu salah.

Spontan saat itu saya hanya ingin bertemu nenek, ketika melihat nenek di dapur, beliau menghampiri saya, “Le, tolong emak beliin obat Isosorbide di apotek, dada emak nyeri, persediaan obat habis.” Dalam hati saya berkata, “Mampus, mau minum saja susah Ya Allah” Saya langsung cabut untuk membeli obat pesanan nenek, dan iya tanpa menggunakan helm lagi.

Setelah membeli obatnya di apotek, saya dilema. “Ini nanti sampek rumah nenek aja minumnya apa beli di pinggir jalan dulu ya!” sumpah ya kalau inget itu ada ngakak sama begonya. Akhirnya saya membeli air mineral di depan pom bensin tak jauh dari apotek itu.

Saya tidak akan menjelaskan detailnya kepada kalian disini ya, jangan berharap lebih, ehe. Yang jelas itu adalah momen pertama saya ikut menghantarkan seseorang ke tempat peristirahatan terakhirnya, iya Budhe saya. Saya tidak pernah ikut mengkebumikan orang, waktu almarhum Ayah saya meninggal pun waktu saya masih SD dan itu dirumah saja.

Beberapa hari setelah itu sangat terasa sekali perihal kepergian beliau. Rasanya sakit ditinggal Ayah saya dulu sama ditinggal budhe ini sangat jauh berbeda sakitnya. Beliau itu sudah saya anggap seperti ibu saya sendiri,  sama halnya dengan tiga yang lain termasuk Ibu kandung saya. Budhe ini orang yang paliiiiinnngggg tulus, baik hati, masakannya nomor wahid dibandingkan ketiga adiknya yang lain, heheh.

Sebenarnya sih pernah juga ada masalah keluarga juga sekitar satu atau dua tahun kebelakang, dan saya memang sangat kesal dengan Budhe saya. Masalahnya sih simpel, uang. Tapi kalau dengan saya pribadi Alhamdulillah sudah kelar masalahnya setelah pernikahan kakak saya.

Budhe itu orang yang baik, orang yang sangat rapat menutup rahasia, dan sangat sayang sekali dengan saya. Bagaimana tidak, beliau itu selalu riweh dan selalu pergi mencari jajanan saat saya datang berkunjung kesana. Saya sampai yakin, kalau beliau sehat dan tidak terkena stroke beberapa bulan belakangan ini pasti masih saja mencarikan jajanan buat saya yang sudah tidak kecil ini lagi, heheh.

Saya menuliskan ini pun menggali ingatan, saya suka sekali dengan mainan Bus yang dibelikan budhe. Meskipun entah dimana sekarang mainan itu, tapi saya sangat ingat fisiknya. Budhe itu sama seperti Ibu saya, mereka berdua itu terlalu tangguh. Apapun di-ayahi (ditangani) sendiri, mereka berdua sama-sama tak mau terlihat lemah dihadapan orang lain.

Budhe itu orangnya bisa menempatkan diri, tidak banyak bicara untuk menasehati orang lain, budhe itu tipe orang yang memberi contoh langsung, bukan tukang ngomel. Karena tidak ngomel dan semuanya dikerjakan sendiri, akhirnya ya tetap dikerjakan sendirian. Itulah saya menilai budhe saya itu terlalu tangguh, terlalu sabar, terlalu super lah.

Saya sangat ingat saat ulang tahun diberi pizza buah buatan Budhe, enak sekali. Semenjak pulang bekerja dari luar negeri cita rasa dan variasi masakan budhe jadi banyak sekali. Masakan biasa dicampur ini itu dan eng ing eng rasanya tetap enak, gila memang.

Beberapa tahun belakangan saya sebenarnya ingin urun dan request buat dibuatkan pizza buah lagi, tapi selalu tidak jadi. Harapan semakin sempit ketika budhe tiba-tiba terkena serangan stroke dan semakin tidak mungkin setelah Budhe sekarang tidak ada lagi.

Tahun ini tidak acara buka bersama lagi dengan budhe, masakan trancam aneka lauk dan es yang segar saat berbuka puasa selalu saja menjadi idola. Sama halnya seperti Iedul Fitri, saya tidak bisa meminta maaf secara personal lagi dengan beliau. “Ya Allah, tahun ini saya udah tidak punya budhe lagi” saya sering bergumam seperti itu akhir-akhir ini.

Sekarang tempat untuk ziarah kubur jadi bertambah satu lagi, sebelumnya hanya mengunjungi makam Ayah dan Mas Gurit. Mungkin hanya ini yang bisa saya lakukan sebagai wujud bakti saya kepada beliau selain berdoa diakhir lima waktu saya.

Selamat jalan ya, Budhe. Semua yang disini sangat kehilangan, apalagi mbah kung. Semoga dihapuskan segala dosa-dosa, diterima amal baiknya, dilapangkan kuburnya dan selalu diterangi jalanNya. Kami semua yang disini kangen dan sayang sama Budhe.