Me
ABOUT ME
Hot Coffee Beans
Selamat datang di website ini, yeay! Perkenalkan nama saya Yoggy Satya, biasa dipanggil sayang. Saya alien yang terlahir dari rahim alien lain yang bernama Mbak Lis. Untuk lebih jelasnya kamu perlu aktif dan tidak mager untuk klik More About Me di bawah ini. Sekian sambutan singkatnya. So, mau salam sayang apa salam unch nih?
MORE ABOUT ME

Gallery

Tampilkan postingan dengan label FlashFiction. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FlashFiction. Tampilkan semua postingan

FlashFiction

Untitled

- -

 "Sejak kapan kamu tidak bebal?" dia langsung mencercaku dengan pertanyaan. Kulanjutkan ritualku menyesap kopi seperti biasanya. Kuhirup aroma kepulan panas kopi sambil menggoyangkan cangkirnya, kusesap sepersekian mili, lalu kudiamkan tinggal di indera perasaku sejenak sebelum menelannya, entahlah kopi dataran rendah selalu asam seperti ini.

    Perempuan di depanku sekarang ini adalah seorang pecandu kerja, idealis mampus, tua sebelum waktunya, punya prinsip tidak kaya tidak mengapa asal keluarga tetap number one. Perempuan aneh ini bernama Rarasati, aku selalu ganti-ganti nama panggilan untuknya, kadang Ra, bisa saja Ras, tapi seringkali Nduk.

"Tulisanmu yang terakhir kenapa? Preposisimu makin ga jelas tau gak!" kuletakkan cangkir kopi dan mencercanya dengan pertanyaan dan penghakiman. Kulihat dia dengan santainya makan kentang goreng dan sesekali meminum es kopi pesanannya. "Awkuh cawpeh, Mas. Newkah awja gemana keh-tah?" mulutnya nyerocos sambil mengunyah kentang gorengnya. "Dasar orgil, telen dulu tuh makanan! Mana muncrat lagi!"

Pertemanan kami mungkin hitungannya masih seumur jagung, tapi entah kenapa kami cocok saja. Hm, tidak, kurasa dia saja yang terlalu ansos dan aku yang terlalu gampang diculik orang. Awalnya dia termasuk orang yang pendiam dan malu untuk tanya apapun, tapi akhirnya jadi tukang tanya, kesal juga jadinya.

"Oh, iya mas, temenku butuh translator nih! Ambil gak?" hening beberapa saat. "Skip dulu deh, kurang tidur guweh akhir-akhir ini!" jadi bagian ahensi akhir-akhir ini jadi sedikit memuakkan. "Yee, terus kapan nikahnya sama aku kalo males-malesan gitu!" kedipnya. "Haha, siapa juga yang mau nikah sama penggila kerja keg elu!" dia dengan refleks menepuk lenganku, "Dih, dasar ortu jahat!"

"Kulihat kamu kok jadi jarang ngamen sekarang?" selain berkutat serabutan di dunia ahensi, kadang hobiku bermain musik pun berusahan ku-cuan-in, itung-itung buat tambahan beli paket data dan ngafe-ngafe ganteng seperti ini. "Lagi musim hujan, banyak cafe aga sepi jadinya fee dikurangin, aga males kalo ga cuan, kalo mau makan gratisan kan tinggal kontak kamu aja, hehehehehe." Dia menatapku sinis, "Gitu ngatain orang gila kerja. Iya iya si paling cuan-oriented!"


p.s: Niatnya bikin FF, kok jadinya perlu bersambung gini.

FlashFiction

Kutukanku Untukmu

- -
Hai, bagaimana kabarmu?

Aku sekarang bingung lho, Tuhan selalu mengejutkanku. Aku merasakan ini adalah sebuah karunia dan sekaligus kutukanku, kombinasi sempurna. Rasanya aku yakin bisa menemukan orang-orang yang menarik, Tuhan selalu membimbingku bertemu dengan orang-orang hebat, seperti halnya kamu. Kata-kata menarik disini dalam artian yang berbeda pula, menarik karena punya potensi besar yang harusnya dikeluarkan atau bisa jadi kelihatan menarik ketika mau berpamitan untuk selamanya, sama seperti kamu sekarang
.Kutukanku Untukmu

FlashFiction

#FFRabu - Menikah dengan Jin

- -
Aku sering beranggapan kalau orang kepala empat belum segera menikah pasti menikahnya dengan Jin. Ada mitos kalau hubungan intim dengan Jin itu rasanya berkali lipat lebih “ehem” daripada dengan manusia. Pak Parlan, tetanggaku, salah satunya yang kucurigai menikah dengan Jin. Sampai malam itu…
Ilustrasi semak belukar
Ilustrasi semak belukar :p
“Ogkh… Akh… Ogkh… Emmhh… Ouhh…” desahan itu menarik perhatianku.

“Ealah Pak Parlan! Ngapain pak?”

“Lagi makan ketela, masih panas banget!”

“Bagi dong pak, malah asik sendiri. Pak, saya boleh tanya?”

“Nihh… Tanya apa?”

“Bapak kok belum menikah? gosipnya bapak sudah menikah sama Jin lho!”

“Gimana mau nikah sama Jin, lhawong bapak disunat sama Jin aja sampek ngepok!”


---End---
100 kata
Kediri, 12 November 2015 @ 04:49
 Untuk #FFRabu Monday FlashFiction ‘PERNIKAHAN’
Dipostingkan dengan bete, karena koneksi sebelumnya DC terus -_-

FlashFiction

#FFRabu - Maaf Pernah Menganggapmu Berlebihan

- -
Nayla, gadis cantik nan manis ini adalah kekasihku. Dia menyenangkan, pelukannya selalu membuatku merasa nyaman, tangisnya membuatku kacau, dan yang paling membuatku luluh adalah senyum manisnya.
Aku pernah membuang kembang pemberianmu, aku selalu menganggapmu terlalu kekanakan akan perayaan hari jadi kita, mengabaikan apapun yang kau buat dengan penuh cinta.

Di batu ini, aku menuliskan nama kita sekali lagi. Maafkan aku pernah menganggapmu berlebihan, ternyata baru kusadari kamu hanya ingin membuat kenangan.

Aku memang pernah patah, Nay. Tetapi seperti janjiku dulu yang tak pernah aku diskusikan denganmu, kalau tidak dengan kau, aku akan melayani Tuhan kita meskipun keyakinan kita menganjurkan pernikahan.

---End---
100 kata
Kediri, 4 November 2015 @ 23:41
 Untuk #FFRabu Monday FlashFiction ‘PATAH’

FlashFiction

#FFRabu - Bukan Urusan Saya

- -
Bukan Urusan Saya
Ilustrasi - Bukan Urusan Saya

“Bagaimana Tuan menanggapi permasalahan yang saya sampaikan ini?”

“Bukan urusan saya”

Jendral perbatasan yang telah diberi mandat rakyat JiCheng Barat itu tercekat, dia tidak menyangka apa yang menjadi keluhan rakyat hanya dianggap enteng belaka. Jendral Gianning pun mencoba untuk mengerti, mungkin Tuan sedang sibuk mencintai rakyatnya.

“Oh iya Tuan, ini ada berkas yang harus anda tanda tangani”

“Ohhh, bawa kesini” ia langsung menandatangani.

“Lebih baik anda baca lebih seksama terlebih dahulu, Tuan”

“Ahh saya tidak hobi baca, kalau nanti salah kan tinggal revisi”

Jendral hancur hatinya, berpikir apakah selama ini telah mengabdi kepada orang yang salah. Ah bukan urusan saya.

---End---
100 kata
Kediri, 26 Agustus 2015 @ 22:43
 Untuk #FFRabu Monday FlashFiction ‘RAJA’

FlashFiction

Hargailah Sebutir Nasi

- -
Liburan kali ini aku terpaksa mengikuti kemauan Ibu mengunjungi rumah kakek di desa. Sebelumnya aku berhasil melarikan diri dengan alasan tugas sekolah menumpuk, diajak teman liburan, dekat dengan ujian sekolah, dan segala macam tetek bengeknya. Tetapi apalah daya, tahun ini aku telah lulus SMA dan masih hitungan bulan pula aku menjadi mahasiswa.

Perjalanan ke rumah kakek sangat membosankan, sejauh mata memandang hanya ada sungai, sawah, dan gunung. Jalanan aspal pun tak kentara karena banyak jerami untuk menutupi lubang-lubang yang jumlahnya mungkin ratusan, dan akhirnya aku sukses sampai disana dengan badan pegal-pegal dan rasa lapar yang saling berkolaborasi. Setelah mandi dan shalat Ashar, Aku pun kaget karena disambut dengan makanan yang menurutku tidak layak konsumsi

“Menu macam apa ini buk, nasi lauk garam dengan sayur kerikil ini apa pantas dimakan?”

“Sudah makan saja”

“Tidak, bisa-bisa aku sakit perut disini, aku sudah kenyang!”

PLAK!

Aku mendapatkan tamparan tepat dipipi sebelah kanan, rasa amarahku pun memuncak. Aku berlari menuju teras depan, yang aku rasakan petang itu hanyalah pedih. “Besok pagi-pagi kamu ikut kakek ke sawah ya, cu!” aku dikagetkan dengan suara dan belaian kakekku. “Iya, besok Andi pagi-pagi ikut kakek” jawabku sesingkat mungkin. Di desa ini hanya kakek yang mengerti aku. Nenek dan Ibu sama cerewetnya, karena itulah aku tidak begitu akrab dengan nenekku.

Esok paginya, setelah shalat Subuh aku dan kakek keluar rumah. Jalanan masih remang-remang tetapi kulihat sudah ada beberapa orang membawa cangkul dipundaknya. “Ayo ikuti para petani itu ke sawah, cu!” kakek merangkul pundakku mengikuti para petani itu dari belakang.

Sesampainya di sawah, aku melihat mereka membuat jalan untuk pengairan sawahnya. Meskipun matahari belum terlihat, aku melihat keringat telah membasahi seluruh baju mereka. Pukul enam tepat para petani istirahat sejenak untuk memakan sebagian bekal yang mereka bawa dari rumah.

“Kamu sudah melihatnya kan?” kakek menyadarkan lamunanku. “Sudah , kek” aku menjawabnya simpel seperti biasanya. “Kamu sudah mengerti kenapa ibumu kelepasan menamparmu sore kemarin?” napasku seketika tercekat. “Maksudnya, kek?” aku bertanya dengan kebingungan. “Hahaha katamu tadi sudah melihatnya, kakek kira kamu juga sudah mengerti. Susah ya bicara dengan anak sekarang lewat peribahasa. Hahaha” kakekku tertawa lepas.

“Begini, kamu kemarin tidak mau makan nasi lauk garam yang ada beberapa kerikilnya kan?”

“Iya kek, maaf”

“Kamu sedari pagi tadi melihat para petani itu sudah bekerja dengan kerasnya saat kebanyakan masyarakat ibukota seperti kamu masih tidur dengan lelap, mereka bekerja keras membuat irigasi agar padinya tumbuh dengan baik, mereka dengan rajin membuat jebakan pada hama padi agar hasilnya melimpah dan tidak sampai gagal panen. Melihat gigihnya perjuangan dan kerja keras mereka, apa kamu tega membuang nasi yang berawal dari padi tersebut?”

Air mataku menetes, aku tersadar lebih mudahnya hidupku dibandingkan dengan mereka. Aku makan hanya perlu memasak beras tidak lebih dari satu jam untuk menjadi nasi. Dengan mudahnya aku mengeluhkan dan membuang sepiring nasi yang hanya bersanding dengan garam dan dua butir kerikil.

“Hargailah makananmu, jangan kau tinggalkan sebutir nasi pun dipiringmu. Karena kamu tidak merasakan apa yang mereka lakukan untuk menyediakan bahan pokok makananmu itu, cu!” kakek tersenyum dan mengajakku pulang ke rumah. 

---End---

500 kata
Kediri, 23 Agustus 2015 @ 23.02
Ngebet ngejar DL, akhirnya nulis juga haha

FlashFiction

#FFRabu – Tolonglah Restanna, Tuhan

- -
Tolonglah Restanna
Ilustrasi Tolonglah Restanna, Tuhan
Aku hanya bisa menatap Restanna dari kejauhan, menenteng payung berwarna biru tetapi tak sedikitpun dipakainya menembus hujan. Sejak musim gugur tahun kemarin aku melepasnya berharap agar ia lebih berbahagia.

“Anna, mau kamu tuh sebenarnya apa?” Aku mencoba bertanya salahku padanya.

“Kamu gak peka dengan keinginanku! Jadi cowok peka dikit napa!”

Aku tak mengerti sama sekali dengan jalan pikirannya, hingga akhirnya aku jadi detektif dadakan stalking sosial media miliknya. Dia terlihat mesra berpelukan dengan kekasih barunya, denganku senyumnya tidak merekah seperti sekarang.

“Tolong berikanlah dia hidayah, Tuhan. Engkau menciptakan Adam dan Hawa, bukan Anna dengan Hawa, kan?” doaku untuk yang tersayang.

---End---

100 kata
Kediri, 19 Agustus 2015 @ 20:01
 Untuk #FFRabu Monday FlashFiction ‘DETEKTIF’

End