Liburan kali ini aku terpaksa mengikuti kemauan Ibu mengunjungi rumah kakek di desa. Sebelumnya aku berhasil melarikan diri dengan alasan tugas sekolah menumpuk, diajak teman liburan, dekat dengan ujian sekolah, dan segala macam tetek bengeknya. Tetapi apalah daya, tahun ini aku telah lulus SMA dan masih hitungan bulan pula aku menjadi mahasiswa.

Perjalanan ke rumah kakek sangat membosankan, sejauh mata memandang hanya ada sungai, sawah, dan gunung. Jalanan aspal pun tak kentara karena banyak jerami untuk menutupi lubang-lubang yang jumlahnya mungkin ratusan, dan akhirnya aku sukses sampai disana dengan badan pegal-pegal dan rasa lapar yang saling berkolaborasi. Setelah mandi dan shalat Ashar, Aku pun kaget karena disambut dengan makanan yang menurutku tidak layak konsumsi

“Menu macam apa ini buk, nasi lauk garam dengan sayur kerikil ini apa pantas dimakan?”

“Sudah makan saja”

“Tidak, bisa-bisa aku sakit perut disini, aku sudah kenyang!”

PLAK!

Aku mendapatkan tamparan tepat dipipi sebelah kanan, rasa amarahku pun memuncak. Aku berlari menuju teras depan, yang aku rasakan petang itu hanyalah pedih. “Besok pagi-pagi kamu ikut kakek ke sawah ya, cu!” aku dikagetkan dengan suara dan belaian kakekku. “Iya, besok Andi pagi-pagi ikut kakek” jawabku sesingkat mungkin. Di desa ini hanya kakek yang mengerti aku. Nenek dan Ibu sama cerewetnya, karena itulah aku tidak begitu akrab dengan nenekku.

Esok paginya, setelah shalat Subuh aku dan kakek keluar rumah. Jalanan masih remang-remang tetapi kulihat sudah ada beberapa orang membawa cangkul dipundaknya. “Ayo ikuti para petani itu ke sawah, cu!” kakek merangkul pundakku mengikuti para petani itu dari belakang.

Sesampainya di sawah, aku melihat mereka membuat jalan untuk pengairan sawahnya. Meskipun matahari belum terlihat, aku melihat keringat telah membasahi seluruh baju mereka. Pukul enam tepat para petani istirahat sejenak untuk memakan sebagian bekal yang mereka bawa dari rumah.

“Kamu sudah melihatnya kan?” kakek menyadarkan lamunanku. “Sudah , kek” aku menjawabnya simpel seperti biasanya. “Kamu sudah mengerti kenapa ibumu kelepasan menamparmu sore kemarin?” napasku seketika tercekat. “Maksudnya, kek?” aku bertanya dengan kebingungan. “Hahaha katamu tadi sudah melihatnya, kakek kira kamu juga sudah mengerti. Susah ya bicara dengan anak sekarang lewat peribahasa. Hahaha” kakekku tertawa lepas.

“Begini, kamu kemarin tidak mau makan nasi lauk garam yang ada beberapa kerikilnya kan?”

“Iya kek, maaf”

“Kamu sedari pagi tadi melihat para petani itu sudah bekerja dengan kerasnya saat kebanyakan masyarakat ibukota seperti kamu masih tidur dengan lelap, mereka bekerja keras membuat irigasi agar padinya tumbuh dengan baik, mereka dengan rajin membuat jebakan pada hama padi agar hasilnya melimpah dan tidak sampai gagal panen. Melihat gigihnya perjuangan dan kerja keras mereka, apa kamu tega membuang nasi yang berawal dari padi tersebut?”

Air mataku menetes, aku tersadar lebih mudahnya hidupku dibandingkan dengan mereka. Aku makan hanya perlu memasak beras tidak lebih dari satu jam untuk menjadi nasi. Dengan mudahnya aku mengeluhkan dan membuang sepiring nasi yang hanya bersanding dengan garam dan dua butir kerikil.

“Hargailah makananmu, jangan kau tinggalkan sebutir nasi pun dipiringmu. Karena kamu tidak merasakan apa yang mereka lakukan untuk menyediakan bahan pokok makananmu itu, cu!” kakek tersenyum dan mengajakku pulang ke rumah. 

---End---

500 kata
Kediri, 23 Agustus 2015 @ 23.02
Ngebet ngejar DL, akhirnya nulis juga haha