Maafkan aku, dek. Jika selama ini aku masih membencimu terlalu. Aku memang lelaki, tapi bagaimana mungkin aku baik-baik saja selepas kepergianmu? Saat kamu memutuskan untuk pergi, sejujurnya aku hanya senyum getir membaca alasanmu, mungkin Tuhan mengirimkan karma buruk berupa kamu.

Maafkan aku, dek. Selama ini aku terus belajar menjadi pria yang baik dari Ibuku. Mungkin saja caraku memperlakukanmu akan jauh berbeda dengan ayahmu, pria terbaik yang tidak pernah menyakitimu, katamu.

Maafkan aku, dek. Aku juga pernah mider dengan status pendidikanku pun keluargaku, dan itu pernah aku bandingkan denganmu, begitu pula seluruh keluargamu. Aku merasa kecil, aku berusaha keras, tapi maaf aku tidak memberitahumu, aku kira itu yang terbaik, ternyata tidak bagimu.

Maafkan aku, dek. Aku belum mengenalmu sepenuhnya, mungkin aku mengabaikan sesuatu yang teramat fatal. Hingga kini pun aku masih belajar mengenai perasaan perempuan, dari perempuan terbaik versiku. Saat itu bisa saja aku mengantuk pada suatu bab tertentu, hingga aku mengecewakan pelajaran ibuku dan kehilanganmu.

Maafkan aku, dek. Perasaanku telah terasah dari belia, dari tajamnya lidah hingga lemparan apel malang di kaki sebelah kanan. Sejujurnya jika aku kurang peka, itu bohong. Aku hanya memainkan peran, bisa saja saat itu berlebihan, hingga anomali tak terelakkan.

Maafkan aku, dek. Kamu pasti bosan selama ini aku sering meminta maaf, tapi suatu saat nanti kamu akan mengerti bagaimana kata maaf sangat berarti. Bukan permintaan maafmu atas lelakimu yang durjana, tetapi kesediaan lelakimu melepas egonya.

Maafkan aku, dek. Ini doa terakhirku untukmu. Semoga kamu bahagia dengan siapapun itu, tidak perlu kamu bandingkan dia denganku, syukuri apa yang ada, dan bahagialah dengan apa yang kamu miliki. Semoga Tuhan selalu mengaminkan doa-doamu.