Raden kelaparan, aku ingin menjadikan ini menjadi sebuah judul ketika tiba-tiba ingat percakapanku dengan Ibuk, "Halah gelar Raden gak iso marai weteng wareg!" (baca : Halah punya gelar Raden tidak bisa buat perut kenyang!) percakapan itu dimulai dari ketidaktahuan.

Ilustrasi Raden Kelaparan :p

"Buk, beberapa temanku ada yang masih ada embel-embel gelar Raden gitu di depan namanya!" aku memulai pembicaraan dengan posisi kepala dipangkuan Ibuk. "Terus kenapa? toh punya gelar itu tidak bisa buat perutmu kenyang!" Ibuk menjawab pertanyaanku sekenanya, seperti biasanya. "Ya tidak masalah sih" aku pun menyahut dengan sekenanya pula. "Dulu kalau tidak salah nama Ibuk sama Budhemu sudah didaftar sama saudara di pihak keraton" Ibuku berkata datar. "Whattt!!!" aku berteriak tidak percaya.

Ceritanya, Nenek dari Ibuk masih mempunyai darah keturunan garis bangsawan. Entahlah itu merupakan gelar yang dapat diturunkan atau tidak, yang jelas ada catatan/ arsip yang dibukukan, namanya didata tentunya sudah diarsipkan. Pihak keluarga pun tidak memusingkan hal-hal tersebut, karena mendapat gelar pun tidak terlalu berpengaruh dalam kehidupan.

"Kalau kita masih satu garis keturunan dengan mereka, kenapa kita tidak dicari ya, Buk? harusnya data kan selalu up to date kalau tidak ingin garis keturunan aslinya hilang" aku bertanya-tanya. "Entahlah tidak penting juga, diakui ataupun tidak toh kita juga harus tetap hidup seperti biasanya" Ibuku menjawab sembari tersenyum. "Mungkin semua kemampuan yang kita miliki ini memang diturunkan oleh leluhur kita ya Buk" akupun menyerah dan menggantinya dengan topik lain. "Iya, karena itu jangan pernah melupakan leluhurmu dan jaga emosimu, tuh mata kamu udah tambah menghitam gitu"

Garis keluarga kami memang aneh, khususnya Ibuk dan Aku. Sejak kecil kami ternyata mempunyai kebiasaan yang sama, puasa. Aku justru lebih mengenal istilah tirakat daripada puasa. Kami sering berpuasa memperingati hari kelahiran dalam hari Jawa, genap tujuh kali atau berkisar setengah tahun, kami pun mengadakan syukuran nasi tumpeng kabuli. Aku tidak terlalu memusingkan apa makna membuat tumpeng itu, simpelnya dari kata "kabul" aku mengartikannya agar semua pengharapanku terkabul. Dari kebiasaan berpuasa juga terkadang aku takut untuk marah, karena aku suka mengutuk orang lain, dan kebanyakan orang yang membuatku sakit hati memang celaka.

Ada hal aneh lain tentang mata, mata kami dasarnya coklat cerah bercahaya. Kalau sering marah-marah dan kurang mengontrol emosi, entahlah warna hitam kelihatan semakin menghitam. Mata sebelah kanan punyaku terkadang membuatku takut, seperti elang yang siap menerkam mangsanya. Aku tidak mengerti sejak kapan mata sebelah kananku berubah menjadi aneh seperti itu, untungnya tidak terlihat kalau tidak dilihat dengan seksama.

Beberapa hari yang lalu aku merasa tentram dan sekaligus menggelengkan kepalaku, aku menyaksikan di televisi tentang seseorang yang menyampaikan wasiat leluhurnya. Aku mendengarkan dengan seksama, aku merasa seolah disana, rasanya aku dan Ibuk memanglah bagian dari pengumuman tersebut. Aku terheran-heran ketika ada beberapa orang berprasangka buruk tentang keputusan yang dianggapnya justru masalah kepentingan salah satu pihak saja. Aku hanya tersenyum, memang benar kalau logika saja yang berbicara, semua yang terjadi terasa omong kosong belaka.

"Raden itu tentang jiwa dan pengabdian" aku terkadang masih berpikir tentang kalimat tersebut, kalau soal jiwa mungkin aku telah mengerti. Kalau masalah pengabdian, aku masih berpikir berjuta-juta kali lagi, pengabdian untuk siapa dan berdasarkan tujuan apa pengabdian itu diciptakan. Yang jelas mari hidup baik dengan cara yang baik di dunia yang serba singkat ini. Semoga kamu selalu diberi kesehatan dan mimpi-mimpimu, mimpi kita semua yang tertunda akan segera terkabulkan dalam waktu sesingkat-singkatnya. :)